Sexuality of Muslim Women

This blog is dedicated for muslim women, who want to explore their knowledge and experiences on sexuality in the perspective of religions and social sciences

Blaiming Victim Kasus Perkosaan: “Jangan Salahkan Rok Mini Saya.”  

“My Rok Mini, My Right. Dan jangan salahkan bajuku. Salahkan pemerkosa.” Itulah cuplikan ekspresi  salah satu perempuan peserta demo di Bundaran Hotel Indonesia pada hari Minggu, 18 September 2011, merespon statemen gubernur DKI, Fauzi Bowo yang memojokkan perempuan dalam kasus perkosaan di dalam angkutan umum, yang menimpa mahasiswi Bina Nusantara, Rika (bukan nama asli) pada 16 Agustus lalu. Publik disadarkan kembali bahwa angkutan umum di Jakarta sangat tidak aman bagi perempuan.
Data yang dilansir oleh Kompas pada hari Senin, 19 September 2011, menyebutkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah komunitas banyak terjadi di DKI Jakarta dengan total kasus sejumlah 192 korban selama tahun 2010. Dan tindakan kekerasan seksual terbanyak terjadi di wilayah publik yang mencakup pelecehan seksual, pencabulan, percobaan pemerkosaan dan pemerkosaan. Tahun 2011,  40 kasus kekerasan seksual sebagian besar terjadi di ranah domestik dan 3 kasus di ranah publik. Alih-alih korban perkosaan mendapatkan simpati dan perlindungan, Gubernur DKI Fauzi Bowo menyalahkan cara berpakaian korban yang merangsang syahwat laki-laki. Komentar serupa juga marak di sebuah Koran online Serambi Indonesia, sangat sarat dengan blaiming victim.  Mengapa masyarakat menyalahkan korban (blaiming victim) dalam menyikapi kasus perkosaan?

Pertama, pelaku perkosaan seringkali adalah orang terdekat korban. Mereka adalah pacar, paman, tetangga, teman, sopir pribadi, atau seseorang yang pernah kenal dengan korban. Dari konteks ini, masyarakat mengira bahwa tindakan paksa tidak mungkin terjadi, jika pelakunya ternyata orang yang benar-benar dikenali oleh korban. Mereka seolah tidak percaya bahwa korban benar-benar mengalami peristiwa traumatik yang bukan saja menghancurkan fisiknya tapi juga mentalnya. Lantas, jika pelaku perkosaan adalah orang yang dikenal korban, jelas-jelas tak seorangpun berhak memaksa hubungan seksual.

Ketiga, perempuan dianggap berkontribusi merusak “kesucian” masyarakat. Kesucian masyarakat dilekatkan pada tubuh perempuan, lebih khusus lagi pada keperawanan (virginity), sehingga perempuan berkepentingan menjaganya. Secara budaya, perkosaan dianggap sebagai upaya mengotori kesucian masyarakat, sehingga bukan saja pelaku  yang dihukum, tapi juga korban dikucilkan seumur hidup oleh masyarakat. Jika perempuan diberikan tugas menjaga kesuciannya, maka seharusnya laki-laki juga harus diberikan tugas menjaga kesuciannya. (more)

Terakhir, masyarakat kita belum memiliki kesadaran kritis dan masih didominasi cara berpikir maskulin, dimana perempuan selalu jadi korban karena kerentanannya. Negara tampaknya banyak didominasi cara berpikir naïf, karena sampai sekarang belum ada sebuah jaminan pelayanan publik yang aman bagi perempuan agar terhindar dari kekerasan seksual di publik maupun domestik.

Dampak Blaiming Victim
Dalam konteks perkosaan, cara berpikir menyalahkan korban akan berdampak secara sosial maupun psikologis pada korban perkosaan sekaligus pada bangunan budaya dan sistem kita.
Pada korban, blaming victim  akan menyebabkan korban mempunyai perasaan bersalah (guilty feeling) yang berkepanjangan. Perasaan bersalah ini dibenarkan oleh publik karena kesalahan pilihan dalam berpakaian, kesalahan pilihan jam pulang kantor, kesalahan pilihan angkutan umum dan sebagainya. Jika korban mempunyai perasaan ini, maka kasus perkosaan tidak akan dilaporkan. Lalu, perasaan bersalah korban bisa berdampak negatif seperti terjun dalam prostitusi karena dendam dengan laki-laki atau bisa jadi bunuh diri.
Masyarakat dan Negara dirugikan dengan cara berpikir blaiming victim karena tidak bisa mengembangkan model perlindungan secara lebih efektif di masyarakat. Jika masyarakat tetap menghakimi korban, maka pelaku tidak jera, dan mengulang perbuatannya. Kita bisa kehilangan budaya respect pada perempuan, karena sering menyalahkan korban. Negara jadi lamban bergerak karena sibuk mengatur model pakaian, tapi lupa penegakan hukum dan penyediaan pelayanan publik yang aman dan nyaman.

Perlindungan Hukum Bagi Perempuan
Indonesia dalah negara hukum. Maka yang terbaik dalam melindungi perempuan dari tindak kejahatan dan kekerasan seksual adalah penegakan hukum. Di dalam KUHP kita, pembahasan tentang perkosaan masuk dalam BAB XIV tentang kejahatan kesusilaan, dalam pasal pencabulan. Meski tidak menggunakan kata perkosaan, pada pasal 289 dijelaskan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pada kenyataannya, jarang sekali kasus perkosaan mendapatkan hukuman maksimal, kecuali jika menyebabkan kematian, yang dalam pasal 291 disebutkan mendapatkan hukumgan maksimal 15 tahun penjara. Adilkah buat korban perkosaan?

Korban perkosaan berada dalam dilemma yang kompleks; antara lapor atau tidak lapor, aborsi atau menggenggam dendam seumur hidup. Beberapa tawaran solusi yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah:
Pertama, penting bagi pemerintah untuk mengusahakan sebuah sistem hukum yang melindungi perempuan dari tindak kekerasan seksual baik di ranah publik maupun domestik. Women Desk (meja pengaduan perempuan) yang sudah ada hendaknya dimaksimalkan sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi perempuan korban kekerasan untuk melapor.

Kedua, penyediaan fasilitas dan pelayanan yang ramah pada perempuan. Pemerintah sudah berupaya memberikan fasilitas gerbong perempuan pada kereta KRL Jabodetabek, sebagai respon dari banyaknya komplain kekerasan seksual di kereta api. Sayangnya, gerbong perempuan belum berlaku di kereta ekonomi. Perlakuan diskriminatif seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi, karena perempuan dari kelas apapu sangat rawan terhadap kekerasan seksual di kereta. Pelayanan safe abortion bagi korban haruslah disediakan jika korban tidak berkenan mempertahankan janin hasil perkosaan.

Di Thailand, dimana penulis pernah tinggal selama 4 tahun, jarang terjadi kasus perkosaan di angkutan umum. Untuk kebutuhan pencegahan, kamera CCTV dipasang di banyak sudut di stasiun sehingga memudahkan pengawasan, dan non penumpang tidak diperkenankan masuk di area kereta api. Pemerintah juga membuka peluang besar bagi perempuan bekerja sebagai kondektur bis untuk menyakinkan keselamatan perempuan.***


Tulisan ini pernah dimuat di website http://dk-insufa.info/opini tahun 2011



[get this widget]

AddThis Social Bookmark Button

0 comments

Post a Comment