Sexuality of Muslim Women

This blog is dedicated for muslim women, who want to explore their knowledge and experiences on sexuality in the perspective of religions and social sciences

Irshad Manji: Bukan Soal Gay  

Disangka membahas tentang gay dan lesbian, diskusi tentang sebuah buku berjudul Allah, Liberty dan Love yang ditulis oleh Irsadh Manji pada tanggal 4 Mei lalu di Salihara dibubarkan massa. Persoalannya sepele, massa mengira diskusi tersebut membahas tentang gay, lesbian dan berbagai orientasi seksual minoritas yang bagi beberapa orang sangat sensitif. Seperti yang dimuat oleh Kompas.com, Irsad Manji menuturkan bahwa buku yang sedang dilaunching di Indonesia ini sama sekali bukan tentang gay dan homoseksualitas yang dituduhkan oleh sekelompok massa tersebut. Namun, ini tentang sebuah refleksi seorang muslim yang menempatkan figur Tuhan sebagai maha pencinta, dan olehkarenanya tidak ada alasan untuk ditakuti. Lantas apa yang salah?

Irsadh Manji adalah seorang feminis yang memperkenalkan cara berpikir terbuka terutama dalam memperjuangkan hak-hak minoritas orientasi seksual di dunia internasional. Figurnya sudah tidak asing di kalangan teman-teman aktifis yang memiliki concern yang sama.Buku sebelumnya berjudul The Trouble of Islam Today begitu diterima di kalangan akademisi. Tapi tidak  saat ini. Manji sudah dianggap icon lesbian. Saat ini wacana minoritas agama dan minoritas orientasi seksual merupakan dua isu yang sulit mendapatkan suara yang terkonsolidasi di Indonesia saat ini. Yang mengerikan adalah masyarakat sudah tidak bisa diajak bicara. Bukan lagi subtansi yang menjadi target tapi sudah pada simbol identitas. Asal bukan Manji. Atau memakai bahasa yang lebih lugas Asal Bukan Gay. Kalau sudah begini, perlahan-lahan ruang-ruang publik untuk mengasah intelektualitas kita akan gulung tikar. 

Masih ingatkah ketika pencekalan buku-buku Pramudia semasa Orde baru? Saya terkejut sekali bahwa semua buku-buku Pramudia justru menjadi referensi pokok di perpustakaan National University of Singapore (NUS). Kita justru jadi tidak menikmati hasil karya anak bangsa. Ehmm...saya jadi berpikir, kemunduran cara berpikir masyarakat ini bisa jadi bagian dari sebuah skenario dunia internasional agar diantara kita saling berperang, saling bunuh membunuh dan akhirnya tiga setan dunia (IMF, WTO dan World Bank) tersebut akan dengan mudah menjajah negara kita. Mereka sebenanrya sudah menjajah dengan mengikat kaki-kaki pemerintah pada hutang yang tak kunjung habis. Lalu dalam keadaan kedua tangan dan kaki terikat, pemerintah tidak punya kekuatan lagi, bahkan untuk mengatakan "tidak" pada berbagai pelanggaran isi UUD 1945. Bahkan untuk prihatin atas dehumanisasi masyarakat Indonesia yang semakin terasing sebagai "warga timur". Dulu kita bangga disebut sebagai negara timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas, cinta, ramah tamah, gotong royong. Kini rasanya malu masih menyebut diri kita sebagai bangsa timur sementara cara berpikir dan bertindak kita sungguh tidak berbeda dengan bangsa barat. Maaf, ini cukup ekstrim.

Kita sedang diadu. Kita sedang dipecah belah. Saudara-Saudara kita sedang dipakai untuk membunuh saudaranya sendiri. Kawan-kawan FPI harus sadar ini sebagai bagian dari pembunuhan besar-besaran masyarakat Indonesia dengan cara perang saudara. Jika sesama saudara saling membinasakan, maka sudah runtuhlah pondasi berbangsa kita. Bukankah ketika kita bersepakat untuk mendirikan negara yang bernama Indonesia adalah sebuah komitmen untuk menerima semua perbedaan yang ada. Para pendahulu kita tidak pernah membuat kesepakatan tentang sebuah homogenitas pemikiran, apalagi orientasi seks. Justru bahasa persatuan dan kesatuan begitu kuat menggema di setiap tarikan nafas para pejuang bangsa. Artinya, kesatuan dan persatuan sebagai pondasi kita. Jangan sampai ini retak. Kita harus kembalikan bersatu. 

Media harus jadi corong perdamaian. Media bukan malah mengipas-ngipas bara api agar menjadi api. Persoalan penganiayaan salah satu aktifis pluralisme dan juga penutupan diskusi buku Manji, seharusnya tidak memprovokasi media untuk memperluas wacana pecah belah dan kebencian. Media harus cerdik melihat makna tersirat dari peristiwa ini. Ini masalah politik pecah belah. Kita harus sudah bisa membaca gelagat ini karena kita sudah pernah dipecah belah pada jaman kolonialisme. Saat ini media sudah masuk perangkap sang sutradara. Berita yang keluar justru berita-berita yang memojokkan pelaku dan ini akan semakin memperkeras perlawanan kelompok konservatif. Jika ini diladeni, ini akan semakin merebak. Kembalikan pada wacana nasionalisme bangsa, dimana persatuan dan kesatuan bangsa harus dijaga. Peristiwa-peristiwa kekerasan yang sporadis muncul akhir-akhir ini adalah faktor yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. 

Kita sudah sangat jauh. Para pembaca blog saya juga harus mulai berpikir dibalik dari peristiwa itu. Kita harus waspada dengan kepentingan asing yang lebih besar ingin menguasai seluruh aset bangsa? Kita harus waspada dengan penggunaan isu seksualitas, ahmadiyah, syiah dan berbagai isu lainnya sebagai perekat isu untuk saling menghancurkan. Apakah semua dari kita harus mati dulu baru kita sadar bahwa kita sedang dipecah belah. Baru kita mau berhenti. ***


[get this widget]

AddThis Social Bookmark Button

0 comments

Post a Comment