Virginity Test For Boys?
Saya terkejut mendengarkan tuturan dari Re (bukan nama asli) yang menceritakan tentang tes keperjakaan yang diinisiasi oleh anak-anak perempuan di sebuah SMA (selanjutnya disebut geng perempuan) di kota terpencil di Jawa Timur. Menurut Re, geng perempuan ini mempunyai kebiasaan yang tidak lazim dilakukan oleh anak-anak sebayanya yaitu melakukan test keperjakaan pada adik kelas yang laki-laki dan itu anak pindahan dari SMA lainnya. Ketika ada anak baru pindah ke sekolah tersebut, jika mereka menginginkan, maka geng akan atur sedemikian rupa agar si boy ini bisa jatuh hati ke tangan salah satu anggota geng. kemudian mereka disiapkan kamar untuk hubungan seksual, dan anggota geng yang lainnya mengatur strategi gimana caranya bisa menyaksikan adegan hubungan intim tersebut. Begitulah mereka bilang tes keperjakaan. Saya juga tidak bertanya apakah ukuran keperjakaan, dan bagaimana mengukurnya. Namun pertanyaan refleksi saya lebih pada Mengapa hal ini bisa terjadi?
Pertama, rasa penasaran yang tinggi tentang masalah keperawanan atau keperjakaan yang tidak tersalurkan. Dalam tradisi masyarakat patriakal, wacana keperawanan ditujukan untuk perempuan. Di sebut perawan jika seorang perempuan bisa menjaga lapisan hymen atau selaput darah yang dimilikinya. Ini biasanya dibuktikan dengan adanya darah pada saat hubungan pertama pernikahan. Bagaimana jika tidak ada darah. Di banyak masyarakat, jika tidak ada bercak darah setelah hubungan seksual pertama. Utuhnya selaput darah bukan saja sebagai ukuran seseorang menjaga kesucian tapi juga ukuran tertinggi moralitas perempuan. Tidak bisa menjaga hymen, berarti tidak bermoral. Ini berkonsekuensi pada seluruh anggota keluarga si mempelai perempuan. Mengapa harus keperawanan? Bagaimana dengan keperjakaan? Bagaimana ukuran-ukuran keperjakaan? Bukankah di dalam konteks Islam itu yang diutamakan adalah kesucian bukan keperawanan? Kalau begitu ukurannya seharusnya bukan hanya selaput darah atau yang lainnya, tapi lebih pada ukuran-ukuran yang lebih tinggi diluar selaput darah.
Kedua, Perlawanan pada dominasi wacana keperawanan yang kemudian dilawan dengan wacana keperjakaan. Masyarakat kita secara tidak sadar sebenarnya memperlakukan laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan diharuskan menjaga selaput darah, tetapi laki-laki diharapkan menjadi sosok yang berpengalaman dengan seksualitas. Jika perempuan berpengalaman dengan aktifitas seks maka sering dianggap "perempuan nakal". Dominasi konstruksi keperawananan ala patrikal ini ingin ditundukkan oleh geng perempuan di atas dengan membuat "wacana tandingan" yaitu wacana keperjakaan. Jika kita sering sekali mendengar tes keperawanan, maka geng anak-anak perempuan di sekolah SMA tersebut melawan dengan tes keperjakaan. Ini sebuah resistensi dari sebuah dominasi budaya yang begitu mendiskriminasikan perempuan.
Saya berharap pembaca tidak begitu mudah memberikan penghakiman. Dari dua analisis yang saya ketengahkan, realitas di atas harus menjadi refleksi mendalam kita bersama. Seksualitas adalah hal yang natural, sudah selayaknya untuk dikenali secara wajar. Sikap wajar dalam mengenali seksualitas harus menjadi spirit pembelajar baik oleh guru, orang tua dan para tokoh agama, sehingga bukan jargon-jargon penghakiman yang muncul atau wacana taboo, tapi justru sebuah dorongan untuk mengenali seksualitas sebagai bagian dari rasa tanggungjawab kita sebagai manusia. Manusia harus bertanggungjawab pada manusia yang lainnya, termasuk pada alam dan seluruh ciptaan Tuhan.
Seksualitas adalah sesuatu yang natural ada di manusia, karenanya seksualitas tidak bisa dibungkam. Pembungkaman seksualitas akan melahirkan rasa penasaran yang tinggi dan mendorong pada eksplorasi bebas. Jalan terbaik justru harus difasilitasi rasa penasaran ini. Sekolah adalah dalam hal ini berkewajiban menyediakan informasi-informasi terkait dengan seputaar seksualitas. Mengenali potensi tubuh dan perasaan terkait dengan siapa seseorang ingin mengekspresikan rasa kasih sayang dan sexual desire sejak dini, dan memperkuat analisis sebab akibat pada sisi kesehatan seksual dan reproduksi akan melatih individu menjadi orang yang bertanggungjawab. Sayangnya, banyak orang berpikir pendidikan seksualitas tidak penting dan dicurigai menjatuhkan moralitas anak bangsa. Bukankah ketika anak-anak muda belia ini tidak mendapatkan informasi seputar seksualitas justru malah mendorong mereka untuk mencari informasi di dunia bebas yang belum tentu ada analisis sebab akibat, sehigga yang ditawarkan bukan kenikmatan seksualitas tapi juga bagaimana akibat dan konsekuensinya.
Belajar seksualitas adalah belajar tentang bertangungjawab pada tubuh sendiri dan tubuh orang lain. Belajar seksualitas harus menimbulkan critical thinking tentang kepedulian pada kesehatan seksual dan reproduksi. Jika ingin dikembalikan pada nilai agama, maka harus diyakinani bahwa ekspresi seksualitas apapun harus disandarkan pada nilai respek. Selalu pikirkan sebab akibat dari sebuah tindakan, dengan begitu kita akan belajar menjadi individu yang bertanggungjawab. ***
[get this widget]