Women’s and girls’ rights at the heart of Post 2015 development Agenda
written by muslim-women-sexuality
at Sunday, February 16, 2014
"..Climate change is not controversial. Syria is not
controversial. Sexual reproductive rights and health, why is it controversial.
We were all born with body and death with body, but why it is taboo to talk
about body?..." Prof. Gita Sen memulai
presentasinya di salah satu side event membincang tentang ‘Women’s and Girls’
rights at the heart of Post 2015 Development Agenda. Wacana taboo yang
dilekatkan pada isu kesehatan reproduksi dan seksual dipandang merugikan kita,
karena memberikan efek negative pada tingginya angka kematian ibu dan kekerasan
terhadap perempuan dan anak perempuan. Side event di Open Working Group ke 8 tentang Sustainable Development Goals di New York 3-7 February 2014 bukan saja "battle of war" pada state member bicara tenang hak dan kesehatan reproduksi dan sesual, tetapi juga menagih komitment dari para state member untuk konsisten melindungi hak-hak perempuan.
Perubahan
paradigm pada International Conference on Population and Demography yang
meletakkan persoalan kespro menjadi bagian dari pemenuhan hak-hak asasi
manusia, tampaknya implementasinya tidak semulus yang dibayangkan saat komitmen
disetujui 179 negara. Faktanya pembatasan akses Kespro untuk perempuan dan anak
perempuan masih tinggi. Misalnya tingginya angka kematian ibu, tingkat
penularan HIV/AIDs di kalangan anak muda cukup tinggi termasuk angka aborsi
tidak aman pada anak muda. Ini karena salah satunya akses informasi dan daya
jangkau akses Kespro masih dibatasi.
Prof.
Gita mengidentifikasi tiga hambatan yang masih ditemui dalam intervensi Kespro
yaitu recognition, complexity dan generational gab. Recognition disini dimaksudkan bahwa masalah Kespro dan seksual
cukup serius. Sebuah study dilakukan di India menemukan bahwa 65% laki-laki
yang diinterview menyatakan bahwa memukul pasangan tidak masalah, apalagi jika
perempuan diangkat tidak “bertanggungjawab” pada keluarga. Kita juga menghadapi
persoalan dengan tingginya AKI yang berakar pada sikap hiporkrit kita.
Terkait
dengan halangan complexity, Prof.
Gita mengacu pada ketidaksinkronan antara statement yang dibuat oleh pada
pengambil keputusan dengan realitas di
lapangan. Seringkali kebijakan yang diambil oleh pemerintah, tidak
teraplikasikan di tingkat lapangan karena kapasitas yang tidak cukup dan
kuatnya taboo di seputar isu Kespro dan seksual. Halangan yang lain adalah generational gab dimana perhatian
tentnag kespro dan seksual pada kalangan muda kurang. Anak-anak muda kita hidup
dalam dunia yang berbeda tetapi cara pandang kita dipaksakan untuk
menyelesaikan masalah mereka. Yang terbaik adalah berikan space pada generasi
muda dan mendengarkan mereka.
Agenda
pembangunan pasca MDGs juga harus memperhatikan pekerjaan perempuan yang tidak
dibayar. 75% dari jumlah perempuan di dunia melakukan kerja-kerja tidak dibayar
(Unpaid care work). Jika itu dibayarpun pasti mendapatkan bayaran yang rendah.
Ini karena caring masih dianggap
sebagai gender role perempuan sehingga tidak
mendapatkan perhatian serius bagaimana membuat standard penggajiannya.
Untuk mendorongkan isu ini, maka perlu memperbesar wacana bahwa caring itu
tanggungjawab kolektif, sehingga tidak dibebankan pada perempuan saja.
Laki-laki juga harus dilibatkan dalam kerja-kerja ini, karena beban pekerjaan
rumah tangga bukan hanya tangungjawab perempuan.
Prof.
Aili Mari Tripp dari universitas WisCousin Medison di Latin Amerika menutup presentasi sesi side
event dengan mengangkat kembali pentingnya dan relevannya gerakan perempuan
sebagai kekuatan pressure untuk menggolkan agenda politik perempuan. Mengapa
ini penting? Pertama gerakan
perempuan mendorong terbentuknya kesadaran publik karena agenda politik yang
diusungnya bukan saja mampu menggeret “story
of self” perempuan yaitu pengalaman ketidakadilan gender sebagai bahan
bakar memobilisasi kesadaran kritis publik untuk terlibat dalam sebuah aksi. Kedua, gerakan perempuan juga
men-challenge- cara berpikir konservatif yang berkembang di masyarkat. Ini
karena analisis yang disuguhkan oleh gerakan perempuan mampu membedah sesuatu
yang personal dialami perempuan menjadi masalah politik yang berdampak pada
publik. Yang terakhir adalah isu perempuan sangat mudah dipakai untuk memecah
kebuntuhan otoritas dimana state bisa menggunakan kekuatan struktur untuk
melahirkan kebijakan yang tidak pro perempuan. Kekuatan gerakan perempuan bisa
membuat pengambil keputusan “meragukan” kebijakan yang mereka buat. Sudah
banyak contoh keberhasilan gerakan perempuan dalam menggolkan agenda
politiknya, maka seharusnya ini menjadi mekanisme mendorongkan agenda kesehatan
reproduksi dan seksual perempuan.
Saya
berkesempatan untuk menchallenge
forum dengan wacana gender harmoni yang dimunculkan untuk menyerang feminism.
Gender harmoni muncul sebagai wacana alternative yang menegosiasikan antara
padangan liberal feminist dengan kenyataan di lapangan bahwa masyarakat masih
merasa ok dengan peran gender yang ada. Gender harmoni kemudian direclaim oleh
kelompok fundamentalis untuk dipakai sebagai senjata menyerang feminisme. Prof.
Gita memberikan penekanan bahwa wacana harmoni sangat menjebak kita semua,
karena apa yang tampak “baik-baik saja” di permukaan belum tentu memberikan
gambaran relasi kuasa yang setara. Jadi, penggunaan gender harmoni tentu juga
kontra produktif dengan wacana pembebasan yang didorongkan oleh gerakan
perempuan. ***









[get this widget]