Sexuality of Muslim Women

This blog is dedicated for muslim women, who want to explore their knowledge and experiences on sexuality in the perspective of religions and social sciences

Women’s and girls’ rights at the heart of Post 2015 development Agenda  

"..Climate change is not controversial. Syria is not controversial. Sexual reproductive rights and health, why is it controversial. We were all born with body and death with body, but why it is taboo to talk about body?..." Prof. Gita Sen memulai presentasinya di salah satu side event membincang tentang ‘Women’s and Girls’ rights at the heart of Post 2015 Development Agenda. Wacana taboo yang dilekatkan pada isu kesehatan reproduksi dan seksual dipandang merugikan kita, karena memberikan efek negative pada tingginya angka kematian ibu dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Side event di Open Working Group ke 8 tentang Sustainable Development Goals di New York 3-7 February 2014 bukan saja "battle of war" pada state member bicara tenang hak dan kesehatan reproduksi dan sesual, tetapi juga menagih komitment dari para state member untuk konsisten melindungi hak-hak perempuan.

Perubahan paradigm pada International Conference on Population and Demography yang meletakkan persoalan kespro menjadi bagian dari pemenuhan hak-hak asasi manusia, tampaknya implementasinya tidak semulus yang dibayangkan saat komitmen disetujui 179 negara. Faktanya pembatasan akses Kespro untuk perempuan dan anak perempuan masih tinggi. Misalnya tingginya angka kematian ibu, tingkat penularan HIV/AIDs di kalangan anak muda cukup tinggi termasuk angka aborsi tidak aman pada anak muda. Ini karena salah satunya akses informasi dan daya jangkau akses Kespro masih dibatasi.

Prof. Gita mengidentifikasi tiga hambatan yang masih ditemui dalam intervensi Kespro yaitu recognition, complexity dan generational gab. Recognition disini dimaksudkan bahwa masalah Kespro dan seksual cukup serius. Sebuah study dilakukan di India menemukan bahwa 65% laki-laki yang diinterview menyatakan bahwa memukul pasangan tidak masalah, apalagi jika perempuan diangkat tidak “bertanggungjawab” pada keluarga. Kita juga menghadapi persoalan dengan tingginya AKI yang berakar pada sikap hiporkrit kita.

Terkait dengan halangan complexity, Prof. Gita mengacu pada ketidaksinkronan antara statement yang dibuat oleh pada pengambil keputusan dengan  realitas di lapangan. Seringkali kebijakan yang diambil oleh pemerintah, tidak teraplikasikan di tingkat lapangan karena kapasitas yang tidak cukup dan kuatnya taboo di seputar isu Kespro dan seksual. Halangan yang lain adalah generational gab dimana perhatian tentnag kespro dan seksual pada kalangan muda kurang. Anak-anak muda kita hidup dalam dunia yang berbeda tetapi cara pandang kita dipaksakan untuk menyelesaikan masalah mereka. Yang terbaik adalah berikan space pada generasi muda dan mendengarkan mereka.

Agenda pembangunan pasca MDGs juga harus memperhatikan pekerjaan perempuan yang tidak dibayar. 75% dari jumlah perempuan di dunia melakukan kerja-kerja tidak dibayar (Unpaid care work). Jika itu dibayarpun pasti mendapatkan bayaran yang rendah. Ini karena caring masih dianggap sebagai gender role perempuan sehingga tidak  mendapatkan perhatian serius bagaimana membuat standard penggajiannya. Untuk mendorongkan isu ini, maka perlu memperbesar wacana bahwa caring itu tanggungjawab kolektif, sehingga tidak dibebankan pada perempuan saja. Laki-laki juga harus dilibatkan dalam kerja-kerja ini, karena beban pekerjaan rumah tangga bukan hanya tangungjawab perempuan.
Prof. Aili Mari Tripp dari universitas WisCousin Medison di  Latin Amerika menutup presentasi sesi side event dengan mengangkat kembali pentingnya dan relevannya gerakan perempuan sebagai kekuatan pressure untuk menggolkan agenda politik perempuan. Mengapa ini penting? Pertama gerakan perempuan mendorong terbentuknya kesadaran publik karena agenda politik yang diusungnya bukan saja mampu menggeret “story of self” perempuan yaitu pengalaman ketidakadilan gender sebagai bahan bakar memobilisasi kesadaran kritis publik untuk terlibat dalam sebuah aksi. Kedua, gerakan perempuan juga men-challenge- cara berpikir konservatif yang berkembang di masyarkat. Ini karena analisis yang disuguhkan oleh gerakan perempuan mampu membedah sesuatu yang personal dialami perempuan menjadi masalah politik yang berdampak pada publik. Yang terakhir adalah isu perempuan sangat mudah dipakai untuk memecah kebuntuhan otoritas dimana state bisa menggunakan kekuatan struktur untuk melahirkan kebijakan yang tidak pro perempuan. Kekuatan gerakan perempuan bisa membuat pengambil keputusan “meragukan” kebijakan yang mereka buat. Sudah banyak contoh keberhasilan gerakan perempuan dalam menggolkan agenda politiknya, maka seharusnya ini menjadi mekanisme mendorongkan agenda kesehatan reproduksi dan seksual perempuan.


Saya berkesempatan untuk menchallenge forum dengan wacana gender harmoni yang dimunculkan untuk menyerang feminism. Gender harmoni muncul sebagai wacana alternative yang menegosiasikan antara padangan liberal feminist dengan kenyataan di lapangan bahwa masyarakat masih merasa ok dengan peran gender yang ada. Gender harmoni kemudian direclaim oleh kelompok fundamentalis untuk dipakai sebagai senjata menyerang feminisme. Prof. Gita memberikan penekanan bahwa wacana harmoni sangat menjebak kita semua, karena apa yang tampak “baik-baik saja” di permukaan belum tentu memberikan gambaran relasi kuasa yang setara. Jadi, penggunaan gender harmoni tentu juga kontra produktif dengan wacana pembebasan yang didorongkan oleh gerakan perempuan. *** 


[get this widget]

AddThis Social Bookmark Button

0 comments

Post a Comment