Sexuality of Muslim Women

This blog is dedicated for muslim women, who want to explore their knowledge and experiences on sexuality in the perspective of religions and social sciences

Beijing+20: Mengapa Takut pada Hak-hak Seksual?  

Hak-hak Seksual ditolak dalam pembahasan dokumen hasil Review Beijing Platform for action selama 20 tahun di Konferensi Asia Pasifik tentang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan yang diselenggarakan oleh PBB. Indonesia bersama dengan Iran, Pakistan dan Rusia menolak pencantuman hak seksual ke dalam dokumen Beijing+20. Bagi Pakistan, pencantuman hak-hak seksual menyalahi isu konstitusi mereka. Meskipun Indonesia tidak memberikan alasan ketidaksetujuannya dalam hak-hak seksual, tetapi sudah bisa ditebak ini ada hubungannya dengan kekhawatiran negara terhadap kelompok seksual minoritas atau biasa dikenal dengan LGBT. 

Mengapa kita ketakutan pada hak-hak seksual? Pertama, hak-hak seksual selalu diasosiakan dengan pelegalan kelompok minoritas seksual seperti gay, lesbian, biseksual dan transgender. Padahal dalam kenyataan hidup kita, mereka ada di tengah masyarakat dan hidup bersama kita. Pelegalan ini ditakutkan oleh negara karena takut semakin mendorong tumbuh suburnya kelompok ini. Padahal di beberapa teks agama kelompok ini dikecam dan secara sejarah tidak didukung. Dalam konteks Islam, kita pernah mendengar kaum Nabi Luth, yang dikutuk oleh Tuhan karena menyukai sejenis. Tafsir yang berkembang seperti itu, tetapi Ibu Musdah Mulia menemukan beberapa alasan yang cukup masuk akal, terkait dengan pengutukan tersebut, diantaranya adalah praktek kekerasan seksual seperti pemaksaan kehendak seksual pada orang lain yang bukan pasangan sah mereka. Ini menjadi sangat fundamental karena Islam hanya melegalkan hubungan seks dalam konteks pernikahan.

Kedua, bahwa hak-hak seksual dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas nasional. Karena isu ini dipahami sempit sekali hanya pada kelompok minoritas seksual, tetapi tidak dipahami secara konsep besarnya yaitu melindungi setiap warga negara untuk mengambil orientasi seksual apapun dan berekspresi sesuai dengan identitas gender yang mereka yakini lebih bisa merefleksikan kata hati mereka. Ini sama dengan kita memilih agama dan kepercayaan apapun. Sebuah wilayah privasi yang tidak perlu ada intervensi negara dalam menentukan pilihan-pilihan tersebut. Negara cukup melindungi pilihan tersebut agar tidak diintervensi oleh kelompok lain yang merasa bertanggungjawab dalam “mengoreksi” moralitas. 

Ketiga, hak-hak seksual dianggap akan menguransi degree moralitas sebuah bangsa. Sebuah cara pandang yang naïf, dimana problem serius korupsi tidak dikategorikan sebagai upaya mengurangi degree moralitas bangsa pula. Jika dilihat dari dampak yang diakibatkannya, korupsi jauh lebih jahat karena memiskinkan banyak orang, dan watak rakusnya membuat bangsa bangkrut dan menelantarkan pemenuhan hak dasar warga negara. Rasanya ada yang tidak imbang dalam diri kita dalam memahami tentang apa itu moralitas. Dan mengapa moralitas selalu diasosiakan dengan prilaku seksual?. 

Konstitusi sebagai Jawaban

Kita memiliki UUD 1945 yang telah diamandemen, dan begitu merefleksikan komitmen tinggi negara untuk mendukung penegakan HAM di Indonesia. Bahkan di dalam pasal 28, Negara memberikan komitmen untuk pemenuhan hak-hak dasar pada semua warga negara tanpa membedakan jenis kelamin, ras, kelas, dan tentu saja orientasi seksual seseorang. UUD kita berlaku untuk melindungi warga negara. Tentu ini termasuk warga negara dalam kategori seperti orang dengan HIV,orang dengan kebutuhan terbatas, orang dengan oreintasi seksual berbeda, orang dengan kepercayaan berbeda dan sebagainya. 

Nah, pemerintah cukup mengembalikan pada UUD 1945 untuk perlindungan bagi segenap warga negara. Setuju atau tidak setuju dalam memandang hak-hak seksual bukanlah sebuah jawaban. Tetapi apapun bentuk diversitas warga negara di Indonesia seharusnya bisa dilindungi, karena mereka warga negara Indonesia. 

Sikap pemerintah RI yang menolak mencantumkan orientasi seksual dalam dokumen hasil Review Beijing+20 dalam membawa konsekuensi serius bagi kelompok-kelompok minoritas. Karena ini artinya Pemerintah akan mengambil sikap diam dalam merespon kekerasan yang terjadi di kelompok ini. Dengan begitu, maka kelompok seperti FPI akan sangat mudah untuk menyerang mereka. Yang lebih parah adalah kelompok minoritas akan selalu dianggap sebelah mata oleh masyarakat dan akan ditutup akses pada pekerjaan yang layak, akses sosial, dan tentu akses pada agama. Bukankah dalam Surat Alhujurat ayat 13 menyatakan bahwa Tuhan menciptakan makhluknya berbeda-beda agar diantara kita bisa saling mengenali. ***


[get this widget]

AddThis Social Bookmark Button

0 comments

Post a Comment